Hardiknas masih sekedar seremonil ...
Menyikapi Hardiknas yang sudah mencapai satu dasawarsa, dan menjadi cita-cita kearah tercapainya kedewasaan bangsa. Hardiknas yang selalu diperingati setiap tanggal dua Mei ini dilaksanakan dengan khusu' oleh para guru dibalik pilunya pendidikan. Hal tersebut di sebabkan karena banyaknya sekolah yang menjamur dimana-mana. Perihal tentang makna Hardiknas, semua guru harus mampu memaknai dan mengartikan bahwa pendidikan bukan main-main dan asal-asalan. Hardiknas bukan seremonial atau upacara ritual tahunan saja yang tanpa makna. Tapi juga harus bisa menghayati di balik pudarnya nilai-nilai pendidikan karena menjamurnya sekolah tanpa disertai kompetensi yang ada. Bukan dalam artian merendahkan Hardiknas itu sendiri. Penulis hanya bermaksud agar pelaksanaan Hardiknas mengandung falsafah yang dalam. Falsafah tentang pendidikan yang bermutu dan berdaya saing maju. Apalagi di era masa kini, menjamurnya sekolah sebagai sarana pendidikan menjadi akar bak virus di mana-mana. Seolah nilai-nilai pendidikan tidak diperhatikan secuil pun. Bahkan yang ada lebih mengarah kepada bisnis dan mencari uang semata. Perguliran dana Bos yang setiap pertiga bulan cair, menjadikan pemegang tampu sekolah lupa dan gelap mata tentang makna pendidikan itu sendiri. Kemana dasar pendidikan yang di cita-citakan bangsa.
Hardiknas sudah dirayakan. Sedikit sekali para guru paham tentang makna Hardiknas yang sesungguhnya. Filosofi yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dengan salah satu isi butirnya ‘Tut Wuri Handayani” kurang dijalankan di sekolah sebagai bahan ajar. Dalam hal ini, guru selalu dipermasalahkan kepada penghasilan dan kurangnya proses pemahaman mengajar. Lebih ironisnya, banyak guru yang belum sarjana sehingga tingkat profesionalismenya patut dipertanyakan. Dengan banyaknya kampus kelas jauh yang menyediakan sarjana saja tidak cukup untuk meningkatkan kompetensi tenaga pengajar. Terlebih, banyak orang beralih profesi yang mengatasnakan membangun pendidikan. Wajah pendidikan bangsa ini semakin hiruk pikuk dengan berbagai problematika yang ada. Dengan beberapa contoh yang sudah penulis bahas di atas. Terbukti sudah bahwa banyak oknum-oknum yang berkecipung di dunia pendidikan tidak mengerti perayaan Hardiknas dengan baik.
Kembali ke masalah sub pokok yang penulis bahas tentang menjamurnya sekolah. Penulis bingung dengan begitu mudahnya setiap orang mendirikan sekolah tanpa melihat lokasi sekolah itu didirikan. Di lapangan terlihat jelas, antara bangunan sekolah yang satu dengan banguan sekolah yang lainnya saling bertetanggan dan berdekatan. Dalam artian, sekolah yang berbeda bukan satu institusi yang sama. Dengan begitu, kriteria sekolah yang didirikan tidak memenuhi standar bangunan yang sesuai dengan kelayakan sekolah. Kalau tidak ada main mata dengan oknum birokrasi pendidikan setempat. Tidaklah mungkin menyetujui pendirian sekolah begitu saja tanpa didasari kompetensi yang mumpuni. Hal yang wajar bila pendidikan di masa kini bukan memperhatikan mutu dan kompetensi. Sekolah lebih mencari siswa bukan siswa yang mencari sekolah.
Sarana pendidikan sudah masuk ke kampung-kampung hingga ke rumah-rumah. Dengan dalih untuk membangun pendidikan. Dari rumahan menjadi yayasan dan dari yayasan menjadi sekolah hingga dari ponpes menjelma menjadi sekolahan. Tidak lah salah dengan maksud dan tujuan yang dicanangkan tersebut. Masalahnya adalah, terkadang dalam pendirian sekolah tersebut bersifat asal-asalan dan hanya mencari keuntungan dari dana Bos yang bergulir. Apalagi tenaga pengajar yang tersedia bukan berasal dari tenaga ahli yang berkompeten di bidangnya. Maksud dan tujuan pendidikan harus benar-benar matang serta dipersiapkan jauh-jauh hari. Jangan sampai maksud dan tujuan itu mengarah kepada bisnis untuk mencari uang semata. Pendidikan bukan tempat bermain-main atau tempat yang di bubuhi oleh unsur politik dan uang. Tetapi pendidikan tempat yang suci yang harus di jaga nilai-nilainya.
Hardiknas telah datang untuk kesekian kalinya. Tak ada yang berkesan terhadap upacara yang dilaksanakan selain dari pilunya pendidikan. Masalah demi masalaah belum terselesaikan. Kita mungkin sadar terhadap dilema sekarang ini atau acuh terhadap berbagai masalah pendidikan deawasa ini. Adalah mustahil pendidikan negri ini maju bila birokrasi pendidikan tidak serius membangun pondasi yang kokoh dari unsur manipulasi. Sehingga dalam hal ini, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah harus intens demi kea rah pembangunan pendidikan yang progres dengan cara. Pertama, meningkatkan kompetensi guru dalam mengembangkan kemampuan belajarnya dengan cara pelatihan guru di bidangnya. Kedua, jangan mudah terkena suap oleh oknum pendiri yayasan dengan tujuan membangun yayasan yang tidak mendasar tanpa melihat kompetensi yang ada. Ketiga, adanya pemantauan langsung oleh pemerintah terhadap pendirian sekolah. Dan Keempat, menindak keras bagi pelaku yang memalsukan data siswa dengan maksud mendapatkan dana Bos sebesar-besarnya. Dengan cara seperti itu, pendidikan yang terbangun akan semakin baik walau sifatnya statis (lambat). Karena di Hardiknas ini kita tidak mau pendidikan berdiri di tempat. Sudah lelah negri ini terhadap masalah demi masalah yang tak kunjung reda. Saaatnya pendidikan bangsa ini maju. (pf)
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Berita Lainnya :
Silahkan Isi Komentar dari tulisan berita diatas :
Komentar :
Pengirim : MrAjit -
[ajit@gmail.com] Tanggal : 12/05/2014
terlebih sekarang byk dr kalangan guru itu sendiri telah mengalami pergeseran paradigma, katanya guru klu hanya di sekolah saja, klu diluar sekolah ya sudah bukan guru lagi. kan dak begitu ya ??? |
Kembali ke Atas